
Setiap desa di Indonesia adalah mikrokosmos dari kebudayaan nasional. Di sana dapat dijumpai akar budaya bangsa Indonesia. Melalui percampuran budaya antar berbagai suku dan kepercayaan yang terjadi secara turun-temurun melintasi ratusan dan ribuan tahun di sebuah desa, terciptalah fondasi bagi tatanan masyarakat hari ini. Desa bukanlah suatu lukisan lanskap kultural yang monokromatis, yang bertumpu pada satu jenis budaya saja, melainkan suatu ruang interaksi budaya yang saling menyilang.
Perkembangan teknologi telah memangkas jarak kultural antara kota dan desa. Bersama dengan tumbuhnya jalur komunikasi di antara keduanya, tumbuh pula pertukaran budaya yang membentuk kota sebagai melting pot budaya-budaya Indonesia. Identitas budaya kota, dengan begitu, justru dibentuk dan ditopang oleh interaksi yang berasal dari tingkat desa. Di desalah terjadi penyemaian benih keanekaragaman budaya yang menjamin tata hidup yang lebih berkelanjutan.
Keanekaragaman budaya ini harus dipandang sebagai modal utama kita dalam pengembangan desa. Narasi sejarah yang perlu diangkat dari desa adalah narasi hibrida, yakni narasi yang menghadirkan desa bukan sebagai suatu unit yang statis, diam, tidak mengenal perubahan, melainkan justru sebagai sesuatu yang tumbuh seiring waktu. Sejarah desa, seperti halnya sejarah bangsa itu sendiri, adalah pada dasarnya suatu sejarah evolusi keanekaragaman budaya dan bukan sejarah monokulturisasi. Di situ, percampuran budaya antarkelompok justru memperkaya kehidupan bersama dan tidak dilihat semestinya sebagai penghalang. Masa depan desa terletak dalam kemampuan kita memberdayakan seluruh potensi keanekaragaman budaya itu secara produktif.
Problem dari tata kelola desa adalah kecenderungan membuat ruang pedesaan menjadi komoditas. Ruang publik menciut jadi ruang privat. Tumbuh suatu pariwisata yang tidak berkelanjutan, yang mengusir kelompok ekonomi lemah, dan menghancurkan daya dukung lingkungan.Untuk mengatasi tantangan itu, kita perlu menjadikan desa sebagai ruang interaksi yang lebih inklusif melalui aksi-aksi budaya. Inilah semangat dari program Pemajuan Kebudayaan Desa yang digulirkan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan bersama masyarakat desa. Fokusnya adalah penguatan ekosistem ekonomi budaya di kawasan pedesaan, antara lain dengan menjadikan situs-situs budaya di desa sebagai creative hub tempat para seniman, pelaku budaya dan ekonomi kreatif berkolaborasi menciptakan inisiatif yang memberikan nilai-tambah ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Buku yang berjudul “Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun” ini ditulis oleh salah seorang Daya Desa yang berperan aktif dalam program Pemajuan Kebudayaan Desa, Angga Hermansyah. Didanai secara swadaya oleh masyarakat desa melalui dana desa, buku ini merekam prakarsa masyarakat Desa Dasun dalam mengelola dan mengembangkan segala potensi budaya lokalnya. Berbagai Objek Pemajuan Kebudayaan, seperti permainan rakyat dan kesenian tradisional, dihadirkan secara rinci. Begitu juga aneka praktik sosio-kultural masyarakat setempat yang diulas dengan mendalam, seperti ritus daur hidup, praktik melaut, dan sebagainya.
Pada akhirnya, buku ini mengingatkan kita kembali bahwa ukuran keberhasilan pengelolaan modal budaya sebuah desa tidak terletak pada dimensi ekonomi saja, tetapi juga pada sejauh mana desa itu dapat menunjang kehidupan sosial yang inklusif. Karena itulah juga kunci kebudayaan nasional kita: semakin inklusif, semakin maju pula budaya kita.
Dr. Hilmar Farid – Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia
Tulisan ini merupakan Sambutan Dirjen Kebudayaan RI atas Buku yang berjudul “Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun” (2021) yang ditulis Angga Hermansah.
More Stories
Penyuluhan Anti Narkoba bagi Remaja Di Desa Dasun Lasem
Haul Mbah Gebyog Memancarkan Fungsi Integrasi Dua Desa dan Penggerak Jaring Pengaman Sosial
Teh Jeruju atau Druju Sebagai Inovasi Teh Herbal Asal Dasun