Interview dilaksanakan pada 4 Oktober 2017 di kediaman Ernantoro/ Sekretariat Fokmas Lasem ~Redaksi RembangTV~
Peneliti : Sekilas, pengabdian bapak tidak bisa dilepaskan dengan apa yang dilakukan oleh Bapak Slamet Wijaya saat itu. Sepengetahuan Bapak, apakah pak Slamet Wijaya sudah pernah melakukan kajian terhadap sejarah lasem?
Informan : Iya, jadi beliau semangatnya luar biasa. Pada waktu itu sebelum saya jadi menantunya, saya sering diajak di lapangan untuk mendampingi. Dari situlah saya memulai.
Peneliti : Jadi, proses menjadi menantunya beliau karena membantu kajian sejarah Lasem juga?
Informan : Iya, kebetulan juga. Saya dilahirkan dari keluarga yang saat itu Ibu dari Keraton Solo dan Bapak dari keluarga besar Ulama Kaliwungu. Ahirnya menyimpan satu buku tentang Lasem. Pada saat itu, Bapak Slamet juga belum tahu bahwa saya juga menyimpan. Setelah itu baru saya sedikit-sedikit “betul nggak buku ini walaupun itu buku kuno sudah berdebu?”. Jadi, kenapa kok dari Lasem? Sebetulnya ada apa? Pada saat ini saya belum berani, karena saya butuh para ahli yang dating kesini mengungkap tentang peninggalan-peninggalan yang ada di Lasem.
Peneliti : Tentunya pengabdian Bapak dalam riset sejarah Lasem ini menenukan banyak hal yang sudah mempengaruhi dinamika akademik, baik sosial budaya di Lasem maupun di Indonesia. Kira-kira menurut bapak, gagasan apa yang sangat penting yang disampaikan Bapak Slamet Wijaya?
Informan : Iya, saya tidak akan lupa sebelum Bapak meninggal di rumah sakit, saya dititipi sebuah kata-kata yang luar biasa. Tiga jam sebelum meninggal, saya dipanggil. Dengan berbahasa jawa, “aku titip Lasem. Nanging ati-ati. Ono skenario besar mergo iki. Yen koe mengko iki orak ati-ati, koe orak kendhel, Lasem orak bakal ketok. Mengko nek koe kiro-kiro bingung, lapor ning atasan”. Saya ingat betul. Waduh, apa ini? Padahal pada saat itu kemampuan berpikir saya tidak sampai seperti itu, hanya sejarah sejarah. Ternyata saya merasakan berbagai macam tantangan yang saya lewati. Tantangan yang saya simpan saat ini sebetulnya sensitif bagi masyarakat juga. Jadi saya harus melewati tantangan itu. Karena ada tiga etnis. Tetapi semangat itu saya tidak lepas dengan Yang Kuasa. Tujuan baik saya pasti diberi jalan dan harus sukses. Karena tujuan saya, Lasem itu sejarah. Tapi nanti ahirnya bisa mengerucut perputaran perekonomian untuk bagian pariwisata. Lasem nanti beda dengan daerah wisata lainnya. Lasem adalah kota tua yang harus seperti ini. Jangan sampai ada bangunan-bangunan yang berbentuk gedung-gedung pencakar langit. Saya kira itu nggak perlu. Lasem harus seperti ini. Bersih, jalannya bagus, jadi untuk wisatawan sejarah. Tidak seperti wisatawan daerah lain. Lasem harus beda. Sedangkan banyak sekali peninggalan-peninggalan yang berbentuk bangunan yang menunjukkan bahwa bangunan-bangunan itu berumur ratusan tahun. Itu yang harus dipertahankan. Jadi jangan dibongkar dan khususnya pemerintah harus ada perhatian. Harus segera mengeluarkan Perda Cagar Budaya. Walaupun saya menyadari bahwa pemerintah tidak mudah mengeluarkan Perda itu. Kita harus menyadari dan ahirnya temen-temen saya ajak (komunitas-komunitas) ayo kita mendekati masyarakat terutama yang punya peninggalan. Pendekatan inilah yang menjadikan kekeluargaan menjadi bisa menyatu, menyamakan hati bisa lestari. Tidak usah menunggu Perda.
Peneliti : Termasuk dalam keberadaan bagaimana … juga kearah situ?
Informan : Iya, betul. Saya juga mengajak lewat media untuk memberitahukan Lasem besok seperti ini. Karena Lasem kandungannya banyak sekali yang bernilai luar biasa.
More Stories
Wayang Perlawanan
Sejarah R.P Singapataka Menjadi Panewu Rembang
Asal Usul Kata Rembang dari Kata “Ngrembang”