
Saya ingin memulai pengantar ini, dengan sedikit menyentil ruang lingkup kebudayaan, yang kadang sering alpa dan luput diperhatikan para pemerhati dan pelaku kebudayaan: yakni kebudayaan sebagai “kata kerja”. Dari sudut ini, jalur dan arah perbincangan kita berkait isu besar ini (baca: kebudayaan), akan bergerak lebih mendasar ke isu-isu yang lebih substansial dan fundamental, dimana subjek penting dari kata kerja ini mendapat elaborasi yang sudah seharusnya: manusia, dan pada saat serentak kita bisa mengelak dan bisa menjuruskan pengarahan kebudayaan tak semata dalam langgam dan matra arus dunia hari ini bernama pariwisata dan peningkatan ekonomi an sich.
Dalam khasanah tradisi kita, terutama di Jawa, kata “ambudi daya” atau kata lain “budya”–yang merupakan asal turunan kata “budi daya” atau “budaya”, setahu saya selalu muncul dalam bentuk “kata kerjanya” yang dalam makna harfiahnya bermakna: “mendayakan budi” kita. Kata “budi” di sini, seturut elaborasinya yang saya ambil dari khasanah “Serat Centhini”, tidak hanya menunjuk “pikiran” atau “akal” semata, melainkan mengacu sesuatu yang lebih luas, yakni seluruh fakultas jasadi-ruhani kemanusiaan kita bernama: (1) Karsa (Raga), (2) Cipta (akal-pikiran), (3) Jiwa, dan (4) Rasa. “Mendayakan budi” oleh karenanya berarti “mendayakan Karsa, Cipta, Jiwa, dan Rasa” alias “mendayakan seluruh potensi dan fakultas (jasadi-ruhani) kemanusiaan kita” atau malah bisa dikatakan sebagai olah peningkatan nilai kemanusiaan itu sendiri.
Jika kita telah sering mendengar defenisi kebudayaan, sebagaimana dikatakan Koentjaraningrat, sebagai “hasil cipta, karsa, dan rasa” manusia, titik tekan kebudayaan sebagai kata kerja, bukan pertama-tama mengacu hasil dan produk-produk budaya, seperti benda-benda atau alat-alat pencarian kebutuhan ekonomi, seperti alat-alat pertanian, benda-benda teknologi, bentuk dan model rumah, kain, dan baju adat, dan masih banyak yang lain. Ataupun juga semata mengacu pada praktik-praktik dan kebiasaan dalam mengatur penyelenggaraan kehidupan sehari-sehari layaknya selametan, kenduri, sistem pembagian sift pekerjaan, ritus bersih desa tahunan, dan yang lain-lainnya (yang sebenarnya lebih berkait dengan term adat, kebiasaan masyarakat sebagai istilah yang lebih spesifik), namun ia, kebudayaan sebagai kata kerja, lebih berkait dengan usaha ataupun proses bersangkut dengan nilai-nilai luhur penting kemanusiaan yang menuntut untuk terus-menerus ditingkatkan.
Oleh karenanya, berbudaya atau berkebudayaan, dari jalur ini (baca: kebudayaan sebagai kata kerja), adalah pertama-tama sebentuk usaha manusia meningkatakan atau mendayakan seluruh potensi nilai kemanusiaan yang dimilikinya (Karsa-Raga, Cipta, Jiwa, dan Rasa) untuk peningkatan nilai “kesempurnaan” (nilai dan martabat) manusia itu sendiri. Seluruh wujud praktik kebiasaan dan tradisi, begitupun juga wujud bendawi alat-alat kebudayaan yang kita warisi ataupun yang masih kita gunakan dan perkembangkan, semata-mata merupakan wujud luar dari kesuluruhan proses peningkatan kualitas nilai kemanusiaan itu sendiri.
Dari sudut ini, bisa jadi sebuah bangsa atau masyarakat dilihat dari satu sisi telah memperkembangkan peradaban yang begitu modern dan canggih (terkait adab, capaian pembangunan gedung dan perkakas teknologi maupun praktik dan pengaturan penataan hidup yang lebih teratur, rapi, dan canggih–alias terkait capaian peradaban wadag-lahirnya) namun ditinjau dari sisi-sudut yang lain, yakni nilai kemanusiaan secara utuh, justeru kita bisa menilainya sebagai sesuatu yang mundur atau rendah. Dari frame besar kebudayaan sebagai kata kerja ini, dimana manusia merupakan subjek penting dalam penyelenggaraan dan aktualiasasi nilai-nilai kemanusiaan luhurnya, sudah seharusnya menjadi pegangan kita dalam menilai perkembangan kebudayaan kita, sebagai sebuah masyarakat maupun sebagai sebuah bangsa, baik terkait dengan penghargaan atas capaian “warisan kebudayaan” yang ditinggalkan oleh leluhur kita, maupun usaha kita sendiri dalam merespon dan mengaitkan dengan perkembangan arus kebudayaan hari ini yang arah pembentuknya bisa datang dari berbagai jurusan (oleh karenanya lebih cair dan tak tekendali), yang sedikit banyak membuat subjek diri dan manusia di dalamnya benar-benar menderita frustrasi, dimana “kedaulatan diri” merupakan barang absurd yang dikoarkan dan digaungkan dalam wujud normatifnya semata.
Karena, seperti yang telah saya sebut, proses berkebudayaan sebenarnya yang lebih mendasar adalah berkait dengan proses atau usaha manusia untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan yang secara fitri telah terberi di dasar kemanusiaan itu sendiri, bahkan sebelum manusia memeluk agama apapun. Dorongan-dorongan nilai terdasar seperti kebaikan, kebenaran, dan keindahan, misalnya merupakan dorongan fitrah asali kemanusiaan kita yang menuntut untuk diperkembangkan (culture), dimana pada realitas terdasar fitrah kemanusiaan tadi sebenarnya kita terhubung dengan realitas ketuhanan secara ruhani, yang dari dorongan nilai-nilai tadi memang terus menuntut setiap diri untuk bergerak dan mengaktualkan potensi-potensi nilai-nilai luhur fitrah tersebut (kebaikan, kebenaran, dan keindahan), yang memang kadang-kadang surut dan kalah dengan dorongan nafsu diri, pamrih, kesenangan dan kebaikan jangka pendek, maupun nalar egotisme (dari kecenderungan nature kita).
Dari siratan pemahaman di atas, proses berkebudayaan atau juga sebenarnya sekaligus proses berkemanusiaan, sebenarnya adalah usaha peningkatan dan penyelenggaraan nilai-nilai luhur kemanusiaan berdasarkan dorongan asal-fitrah kemanusiaan terberi yang berasal dari Tuhan dalam usaha kita mengatur kehidupan individu dan kehidupan bersama sebagai mahluk sosial dalam sebuah masyarakat dalam peningkatan nilai-nilai luhur tadi. Kecenderungan atau dorongan asal-fitrah akal (cipta) kita misalnya selalu saja ingin memburu dan memperkembangkan nilai kebenaran, pengetahuan, serta pemenuhan rasa ingin tahu yang melahirkan pengetahuan dan peradaban ilmu yang terus-menerus berkembang. Begitu juga dorongan raga dan keinginan (karsa) kita yang terus saja menuntut untuk memburu nilai-nilai kebaikan, kegunaan, manfaat praktis-abstrak, maupun nilai kebermanfaatan baik bagi individu dan masyarakat. Maupun dorongan nilai asal dari hati dan (rasa) kita yang terus menerus ingin memperkembangkan nilai berbela rasa, empati, kepedulian, keindahan, keselarasan, kebersamaan, dan bahkan nilai menyelami “misteri makna” tertinggi hidup yang terus saja memandu proses berkemanusiaan kita, sadar maupun tanpa sadar.
Oleh karenanya gerak berkebudayaan, ataupun gerak menyambut dorongan fitrah nilai-nilai tadi, beserta nilai-nilai luhur turunan-turunannya, sebenarnya telah tergambar dalam rekam jejak perjalanan kemanusian kita sendiri, yang telukiskan secara apik dalam seluruh aspek wilayah sistem kehidupan kita secara menyeluruh: yakni dari sejak sistem mata pencaharian hidup, bahasa, peralatan dan teknologi, maupun sistem kekerabatan dan organisasi sosial, hingga berujung pada ranah kesenian, sistem pengetahuan, dan olah beragama, seperti dikenal sebagai 7 unsur kebudayaan sebagaimana disebut oleh C Kluckhon yang masyhur itu. Capaian penyelenggaraan dan peningkatan nilai-nilai kemanusiaan tersebut berjenjang dari kebaikan nilai-nilai wadag-praktis yang sejatinya lebih mendekati dorongan nature kita, layaknya pada sistem mata pencaharian dan sistem peralatan hidup dan teknologi, hingga pada capaian penyelenggaraan nilai-nilai absrak dan luhur kemanusiaan: yakni pada wilayah sistem kesenian, sistem nilai, dan moralitas sosial, sistem pengetahuan, maupun olah berkeagamaan dan spiritualitas, yang sebenarnya merupakan puncak lanjut dan tertinggi dari proses proses perkembangan peningkatan nilai kemanusiaan di puncak piramida tertingginya (puncak tertinggi culture).
Skema ini, dengan sendirinya, akan menggeret kita pada penilaian yang lebih mendasar bahwa capaian berbudaya sebuah masyarakat tertentu sudah sepantasnya selalu harus disandarkan pada nilai puncak terkait pertanyaan: apakah capaian peradaban dan tata pengaturan sosial, hingga teknologi dan sistem pengetahuan, dan bahkan olah nilai keagamaan kita telah membantu meningkatan nilai-nilai luhur kemanusiaan kita itu sendiri (yang sebenarnya bersumber dari Tuhan). Dan juga dari jalur evaluasi ini, apakah sebentuk strategi dan pengarahan arah kebudayaan kita sejatinya sudah dinafasi dan diarahkan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan, yang mengantarkan pada nilai-nilai luhur seperti kebersamaan, kesejahteraan dan keadilan bersama, kesamaan dan kesetaraan martabat manusia, empati, kebersamaan dan persatuan, juga penyemarakan nilai untuk semakin “memanusiakan yang lain”. Dan dari jalur insight ini pula, relevansi mendudukkan diskurus kebudayaan, apapun bentuk manifestasi, entah di level produknya, praktik kebiasaannya, maupun capaian sistem pengetahuan dan nilainya, bisa mendaratkan relevansinya secara lebih mendasar dan substansial.
Buku yang anda pegang ini, “Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun” yang ditulis oleh Angga Hermansyah ini, saya kira, merupakan ikhtiyar awal menuju ke arah penyelenggaraan peningkatan nilai-nilai kemanusiaan, dari jurusan rentang defenisi kebudayaan dalam pengertian utuh maupun komprehensifnya sebagaimana telah saya singgung di depan. Usaha tekun, gigih, dan berdedikasi yang dilakukan penulis buku ini, dalam rangka mencatat, mendata, dan menyusun misalanya berbagai ritus hidup, juga teknik pencaharian warga, maupun juga dokumentasi alat tangkap nelayan, alat produksi garam, sistem pengobatan tradisional, jenis-jenis sistem permainan tradisional, bentuk-bentuk kuliner pawon, bentuk rumah dan sumur, tradisi desa, hingga bidang kesenian tradisional desa, saya tangkap sebagai lambaran awal untuk melesat ke ujung puncak piramida nilai-nilai kemanusiaan: yakni kedaultan diri. Dan kedaultan bagi seorang diri, begitupun juga bagi sebuah masyarakat, maupun bahkan bagi bangsa, hanya akan tegak jika ia berhasil mengutuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang inhern di dalam dirinya tadi terselenggara secara manifest dalam kehidupan ini, baik terkait relasinya dengan orang lain, alamnya, maupun dengan Tuhannnya. Dan oleh karenanya, di titik ini pula buku ini tepat menemukan signifikansi serta menemukan dasar untuk mendaratkan relevansinya. Pada akhirnya, Selamat membaca.
Cepokojajar, 21 Desember 2021
*)Irfan Afifi Budayawan
Sumber Tulisan : Pengantar Buku Pemajuan Kebudayaan Desa Dasun (2021) Angga Hermansah
More Stories
Penyuluhan Anti Narkoba bagi Remaja Di Desa Dasun Lasem
Haul Mbah Gebyog Memancarkan Fungsi Integrasi Dua Desa dan Penggerak Jaring Pengaman Sosial
Teh Jeruju atau Druju Sebagai Inovasi Teh Herbal Asal Dasun